Penilaian dalam pembelajaran matematika di SD pada dasarnya ditekankan pada proses pembelajaran dan ditekankan pada hasil test yang dilakukan oleh guru dan hasilnya adalah setiap siswa mendapatkan skor atau nilai tertentu. Hasil ini menunjukan bagaimana setiap siswa dapat menerima materi matematika yang telah dipelajari.
Macam-macam metode penilaian dalam pembelajaran
1. Tes : suatu prosedur yang sistematik untuk mengamati dan mengukur peserta didik
2. Pengukuran : suatu prosedur untuk menunjukkan hasil dari proses atau karakteristik seseorang berdasarkan aturan tertentu. hasil pengukuran ini
biasanya disebut skor.
3. Asesment : suatu proses pengumpulan informasi yang sistematik tanpa adanya pembuatan keputusan tentang nilai.
4. Penilaian : suatu kegiatan pembuatan keputusan berdasarkan kesesuaian seseorang, program, proses atau hasil dengan tujuan tertentu.
Jenis-jenis penilaian dalam pembelajaran matematika
A. Jenis keputusan yang harus dilakukan oleh guru :
1. Keputusan pada awal pembelajaran : terdiri dari penilaian kesiapan dan penilaian penempatan
2. Keputusan selama pembelajaran : terdiri dari penilaian formatif dan penilaian diagnosis
3. Keputusan pada akhir pembelajaran (penilaian sumatif)
Jenis Data dan Tujuan Penilaian.
1. Penilaian kesiapan siswa dalam belajar matematika di SD
Untuk menilai apakah setiap siswa sudah memiliki kesiapan dalam belajar guru dapat menggunakan berbagai cara, misalnya meminta siswa memeragakan sesuatu atau mewawancarai siswa baik perseorangan ataupun kelompok.
2. Penilaian tugas
Salah satu kegiatan guru matematika di SD adalah memilih dan memberikan tugas kepada siswa. Tugas dapat berupa pertanyaan, masalah , latihan soal, karangan. Masing-masing tugas dalam dokumen ini dikoreksi dan diberi skor atau komentar tertulis oleh guru sehingga dokumen ini dapat dijadikan oleh guru sebagai salah satu bahan untuk memantau perkembangan belajar siswa.
3. Penilaian kemampuan matematika dalam belajar matematika di SD
Untuk memperoleh data kemampuan matematika para siswa salah satunya dengan test. Test ini biasanya dirancang oleh guru, disebut test buatan guru. Jenis pertanyaan biasanya benar salah, jawaban singkat, melengkapi, pilihan ganda.
4. Observasi
Informasi yang terkait dengan para siswa antara lain adalah motivasi, perhatian, rasa ingin tahu, ketabahan, semangat, keaktifan, kerjasama, ketrampilan dan pemahaman mereka selama proses belajar matematika. Pengamatan pada metode ini disebut metode observasi. Pengamatan ini dilakukan secara formal dan tidak terstruktur.
5. Wawancara
Merupakan metode penilaian yang memungkinkan guru memperoleh gambaran tentang pengetahuan konseptual siswa dan penalaran siswa tentang suatu masalah. Wawancara biasanya dilakukan secara langsung dan berhadapan.
6. Tes diagnosis dalam belajar matematika di SD
Tes ini dirancang secara khusus untuk mendiagnosis letak kesulitan belajar siswa. Untuk merancang dan melaksanakan tes diagnosis sekurang-kurangnya ada 3 hal : menentukan tujuan, memilih pertanyaan sesuai dengan tujuan, dan menganalisis jawaban yang dikemukakan siswa.
7. Penilaian dengan portofolio
Portofolio adalah hasil karya masing-masing siswa yang didokumentasikan secara teratur dan baik. Isi portofolio bermanfaat untuk membuktikan secara tertulis karya siswa, dapat memberikan gambaran terhadap guru yang sedang dan akan mengajar mengenai kemampuan siswa.
8. Penilaian dengan jurnal
Bagian yang paling penting dalam pembelajaran adalah pengkomunikasian ide tentang matematika dalam bentuk tulisan. Jurnal merupakan salah satu bentuk tulisan yang disusun siswa tentang kegiatan yang dilakukannya.
(https://edusogem.blogspot.com/2010/11/penilaian-pembelajaran-matematika-di-sd.html)
Salah satu penilaian yang ditetapkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan
kurikulum 2013 adalah penilaian autentik (otentik). Istilah penilaian autentik
ini bagi sebagian orang akan terdengar asing dan menjadi permasalahan
tersendiri dalam penerapannya, walaupun tidak menutup kemungkinan sebenarnya
bentuk penilaian ini telah kita lakukan sehari-hari tanpa kita sadari.
Definisi, Ciri-ciri dan Karakteristik
Kata autentik oleh KBBI didefinisikan sebagai dapat dipercaya, asli;
tulen, dan sah. Oleh pemerintah, melalui kemendikbud, penilaian autentik
didefinisikan di dalam permendikbud no. 66 tahun 2013 sebagai penilaian yang
dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input),
proses, dan keluaran (output) pembelajaran. Dipertajam lagi dalam
permendikbud no.81A tahun 2013 sebagai proses pengumpulan informasi oleh guru
tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik
melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan
secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan (kompetensi) telah
benar-benar dikuasai dan dicapai. Dikatakan pula oleh Pusat Kurikulum,
penilaian autentik adalah suatu proses pengumpulan, pelaporan dan penggunaan
informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip
penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti autentik, akurat, dan
konsisten sebagai akuntabilitas publik (Majid, 2014: 56). Sumber lainnya
mengatakan bahwa penilaian autentik adalah kegiatan menilai peserta didik yang
menekankan kepada apa yang seharusnya dinilai, baik proses maupun hasil dengan
berbagai instrumen penilaian yang disesuaikan dengan tuntutan kompetensi yang
ada di SK, atau KI dan KD. (Supardi, 2015:26). Masih di dalam sumber yang sama,
disebutkan penilaian autentik memiliki ciri-ciri belajar tuntas, autentik,
berkesinambungan, menggunakan teknik yang bervariasi, dan berdasarkan acuan kriteria.
Sedangkan karakteristik dari penilaian autentik menurut Kunandar (Supardi,
2015:27), adalah:
- Dapat digunakan untuk formatif dan sumatif
- Mengukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta
- Berkesinambungan dan terintegrasi
- Dapat digunakan sebagai feedback
Sedangkan dalam permendikbud no.81A tahun 2013, disebutkan penilaian
autentik memiliki prinsip-prinsip:
- Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran. Penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata, bukan masalah dunia sekolah.
- Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metoda dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar.
- Penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (sikap, keterampilan, dan pengetahuan).
Selain prinsip dan karakteristik di atas, beberapa ahli juga
memadanankan penilaian autentik dengan beberapa istilah lainnya sebagai
gambaran dari isi penilaian autentik itu sendiri. Istilah penilaian autentik
sering disejajarkan pengertiannya dengan performance assessment, alternative
assessment, direct assessment, dan realistic assessment,
walaupun tidak semua ahli sependapat akan padanan kata-kata tersebut. (Majid,
2014: 56).
Dari serangkaian definisi, ciri dan karakteristik, dapat dilihat
beberapa kesamaan dan titik temu dari sebuah penilaian autentik, dan hal inilah
esensi dari penilaian autentik. Hal-hal tersebut adalah:
- Menilai ketiga ranah kecerdasan; afektif (sikap), kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (keterampilan). Implikasinya penilaian dilakukan dengan berbagai cara dan instrumen. Melahirkan hasil penilaian yang akuntabel.
- Memperhatikan kondisi awal (input), proses dan pencapaian belajar (output) peserta didik.
- Penilaian (proses belajar) harus mencerminkan dunia nyata, bukan mengingat fakta.
- Beracuan kriteria. Tidak dibandingkan terhadap kelompoknya, melainkan dibandingkan dengan kriteria (indikator) yang telah ditetapkan.
Autentik dan akuntabel. Dapat dipertanggung jawabkan dengan bukti-bukti
yang nyata.

Akuntabel dan Berkesinambungan
Dari kelima hal yang telah saya sebutkan di atas, terdapat dua hal yang
cukup menarik dari sebuah penilaian autentik dalam pembelajaran matematika
tingkat sekolah dasar, yaitu akuntabel dan berkesinambungan. Kenapa hanya kedua
hal tersebut? Mari lupakan sejenak mengenai permasalahan holistik, kontekstual
dan beracuan kriteria karena hal ini lebih kepada isi dari sebuah kurikulum,
tidak kepada teknis pelaksanaan penilaian itu sendiri. Dengan mengerucutnya
permasalahan yang kita bicarakan, maka jelas rasanya bila dua hal pertama
merupakan hal yang bersinggungan langsung dengan teknis penilaian.
Masalah akuntabel menyangkut penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan
secara teknik, bukti-bukti, maupun hasilnya. Untuk itulah, penilaian yang
dilakukan terhadap ketiga ranah kecerdasan wajib hukumnya harus mempunyai
prosedur yang jelas. Dengan menggunakan rubrik, penilaian ranah sikap dapat
dilakukan bersama-sama dengan mata pelajaran lainnya dalam konteks tematik,
sedangkan tidak menutup kemungkinan pula untuk berdiri sendiri sebagai
penilaian sikap dalam pembelajaran matematika. Untuk itulah, rubrik dapat
dirancang bersama-sama dengan guru mata pelajaran lainnya ataupun dalam
internal guru mata pelajaran matematika. Rubrik ini dirancang tidak hanya
berguna dalam hal teknik pengambilan nilai, tapi juga sebagai bukti sahih bahwa
penilaian telah dilakukan.
Ranah pengetahuan seharusnya tidak menjadi permasalahan yang berarti
dalam pembelajaran matematika, karena memang hal inilah yang telah kita lakukan
sehari-hari. Yang perlu mendapat perhatikan lebih, dimana banyak diantara kita
yang mengabaikannya, adalah teknik skoring yang jelas dan bukti-bukti dari
hasil penilaian itu yang nyata. Sedangkan penilaian dalam ranah keterampilan
pembelajaran matematika dilakukan dengan menggunakan rubrik dengan tetap
memperhatikan teknik dan bukti-bukti penilaian. Sama halnya dengan kedua ranah
lainnya.
Ketiga penilaian di atas dilakukan secara berkesinambungan. Dilakukan
semenjak awal pembelajaran (input) hingga berakhirnya suatu kompetensi
yang menjadi tujuan pembelajaran (output). Singkatnya, semenjak
pembelajaran suatu kompetensi dimulai, maka pada saat itulah setiap tugas siswa
dikenakan penilaian, baik secara sikap, pengetahuan dan keterampilan. Akan
terdengar mustahil memang melakukan semua hal tersebut, kita bisa mengatakannya
sebagai hal ideal, penyesuaian dapat dilakukan di sini. Penyesuaian dilakukan
dengan mengingat bahwa pembelajaran matematika lebih condong ke arah
pengetahuan yang bermuara pada berubahnya sikap dan keterampilan. Untuk itulah
kita dapat meletakkan penilaian pengetahuan sebagai prioritas dalam hal
kesinambungan proses pembelajaran dan penilaian.
Untuk dapat mempertahankan kesinambungan dalam penilaian ranah
pengetahuan, maka penilaian wajib dilakukan di awal pembelajaran
(bahasan-bahasan awal), di tengah-tengah pembelajaran dan di akhir
pembelajaran. Dengan dilakukannya penilaian secara terus menerus dan
berkesinambungan maka tidak hanya berguna bagi guru untuk melihat perkembangan
peserta didik, namun juga bermanfaat dalam melihat bagian mana yang menjadi
kesulitan tersendiri bagi peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran.
Selama proses penilaian ranah pengetahuan ini berlangsung guru dapat melakukan
penilaian sikap dengan menggunakan metode observasi dan rubrik yang telah
disiapkan sebelumnya. Begitu pula dengan ranah keterampilan. Banyak alternatif
penilaian keterampilan yang dapat dilakukan dalam pembelajaran matematika,
seperti penilaian produk, project, ataupun portfolio. Namun tetap harus diingat
aspek akuntabel yang harus tetap dijaga.
(https://hidayatunnes.wordpress.com/2015/11/09/penilaian-autentik-dalam-pembelajaran-matematika-sd/)
Karakteristik Penilaian
Penilaian dalam Kurikulum 2013
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Belajar Tuntas
Asumsi yang digunakan dalam
belajar tuntas adalah peserta didik dapat mencapai kompetensi yang ditentukan,
asalkan peserta didik mendapat bantuan yang tepat dan diberi waktu sesuai
dengan yang dibutuhkan. Peserta didik yang belajar lambat perlu diberi waktu
lebih lama untuk materi yang sama, dibandingkan peserta diidk pada umumnya.
Untuk kompetensi pada
pengetahuan dan keterampilan (KI-3 dan KI-4), peserta didiktidak diperkenankan
mengerjakan pekerjaan atau kompetensi berikutnya, sebelum mampu menyelesaikan
pekerjaan dengan prosedur yang benar dan hasil yang baik.
2. Otentik
Memandang penilaian dan
pembelajaran adalah dua hal yang saling berkaitan. Penilaian otentik harus mencerminkan masalah dunia nyata, bukan dunia
sekolah. Menggunakan berbagai cara dan criteria holistic (kompetensi utuh
merefleksikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap).
Penilaian otentik tidak hanya
mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik, tetapi lebih menekankan
mengukur apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik.
Berikut contoh-contoh tugas
otentik:
a. Pemecahan
masalah matematika
b. Melaksanakan
percobaan
c. Bercerita
d. Menulis
laporan
e. Berpidato
f. Membaca
puisi
g. Membuat
peta perjalanan
3. Berkesinambungan
Penilaian berkesinambungan
dimaksu sebagai penilaian yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan
selama pembelajaran berlangsung. Tujuannya adalah untuk mendapat gambaran yang
utuh mengenai perkembangan hasil belajar peserta didik, memantau proses,
kemajuan, dan perbaikan hasilterus menerus dalam bentuk penilaian proses, dan
berbagai jenis ulangan secara berkelanutan (ulangan harian, ulangan tengah
semester, ulangan akhir semester).
4. Menggunakan
teknik penilaian yang bervariasi
Teknik penilaian yang
dipilih dapat berupa tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, projek,
pengamatan, dan penilaian diri.
5. Berdasarkan
acuan kriteria
Kemampuan peserta didik
tidak dibandingkan terhadap kelompoknya, tetapi dibandingkan terhadap criteria
yang ditetapkan, misalnya ketuntasan minimal, yang ditetapkan oleh satuan
pendidikan masing-masing.
Penilaian didasarkan pada
ukuran dan pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
Kemampuan peserta didik tidak
dibandingkan terhadap kelompoknya, tetapi dibandingkan terhadap kriteria yang
telah ditetapkan, misalnya ketuntasan belajar minimal (KKM), yang telah
ditetapkan oleh satuan pendiidkan masing-masing dengan mempertimbangkan
karakteristik kompetensi dasar yang akan dicapai, daya dukung (sarana dan guru),
dan karakteristik peserta didik. KKM diperlukan agar guru mengetahui kompetensi
yang sudah dan belum dikuasai secara tuntas. Guru mengetahui sedini mungkin
kesulitan peserta didik, sehingga pencapaian kompetensi yang kurang optimal
dapat segera diperbaiki. Bila kesulitan dapat terdeteksi sedini mungkin,
peserta didik tidak sempat merasa frustasi, kehilangan motivasi, dan sebaliknya
peserta didik merasa mendapat perhatian yang optimal dan bantuan yang berharga
dalam proses pembelajarannya. Namun ketuntasan belajar minimal tidak perlu
dicantumkan dalam buku rapor, hanya menjadi catatan guru.
