Sabtu, 15 Februari 2020

PENILAIAN DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD






Penilaian dalam  pembelajaran matematika di SD pada dasarnya ditekankan pada proses pembelajaran dan ditekankan pada hasil test yang dilakukan oleh guru dan hasilnya adalah setiap siswa mendapatkan skor atau nilai tertentu. Hasil ini menunjukan bagaimana  setiap siswa dapat menerima  materi matematika yang telah dipelajari.


Macam-macam metode penilaian dalam pembelajaran

1. Tes : suatu prosedur yang sistematik untuk mengamati dan mengukur peserta didik

2. Pengukuran : suatu prosedur untuk menunjukkan hasil dari proses atau karakteristik seseorang berdasarkan aturan tertentu. hasil pengukuran ini
biasanya disebut skor.

3. Asesment : suatu proses pengumpulan informasi yang sistematik tanpa adanya pembuatan keputusan tentang nilai.

4. Penilaian : suatu kegiatan pembuatan keputusan berdasarkan kesesuaian seseorang, program, proses atau hasil dengan tujuan tertentu.


Jenis-jenis penilaian dalam pembelajaran matematika

A. Jenis keputusan yang harus dilakukan oleh guru :

1. Keputusan pada awal pembelajaran : terdiri dari penilaian kesiapan dan penilaian penempatan

2. Keputusan selama pembelajaran : terdiri dari penilaian formatif dan penilaian diagnosis

3. Keputusan pada akhir pembelajaran (penilaian sumatif)


Jenis Data dan Tujuan Penilaian.

1. Penilaian kesiapan siswa dalam belajar matematika di SD
Untuk menilai apakah setiap siswa sudah memiliki kesiapan dalam belajar guru dapat menggunakan berbagai cara, misalnya meminta siswa memeragakan sesuatu atau mewawancarai siswa baik perseorangan ataupun kelompok.

2. Penilaian tugas
Salah satu kegiatan guru matematika di SD adalah memilih dan memberikan tugas kepada siswa. Tugas dapat berupa pertanyaan, masalah , latihan soal, karangan. Masing-masing tugas dalam dokumen ini dikoreksi dan diberi skor atau komentar tertulis oleh guru sehingga dokumen ini dapat dijadikan oleh guru sebagai salah satu bahan untuk memantau perkembangan belajar siswa.

3. Penilaian kemampuan matematika dalam belajar matematika di SD
Untuk memperoleh data kemampuan matematika para siswa salah satunya dengan test. Test ini biasanya dirancang oleh guru, disebut test buatan guru. Jenis pertanyaan biasanya benar salah, jawaban singkat, melengkapi, pilihan ganda.

4. Observasi
Informasi yang terkait dengan para siswa antara lain adalah motivasi, perhatian, rasa ingin tahu, ketabahan, semangat, keaktifan, kerjasama, ketrampilan dan pemahaman mereka selama proses belajar matematika. Pengamatan pada metode ini disebut metode observasi. Pengamatan ini dilakukan secara formal dan tidak terstruktur.

5. Wawancara
Merupakan metode penilaian yang memungkinkan guru memperoleh gambaran tentang pengetahuan konseptual siswa dan penalaran siswa tentang suatu masalah. Wawancara biasanya dilakukan secara langsung dan berhadapan.

6. Tes diagnosis dalam belajar matematika di SD
Tes ini dirancang secara khusus untuk mendiagnosis letak kesulitan belajar siswa. Untuk merancang dan melaksanakan tes diagnosis sekurang-kurangnya ada 3 hal : menentukan tujuan, memilih pertanyaan sesuai dengan tujuan, dan menganalisis jawaban yang dikemukakan siswa.

7. Penilaian dengan portofolio
Portofolio adalah hasil karya masing-masing siswa yang didokumentasikan secara teratur dan baik. Isi portofolio bermanfaat untuk membuktikan secara tertulis karya siswa, dapat memberikan gambaran terhadap guru yang sedang dan akan mengajar mengenai kemampuan siswa.

8. Penilaian dengan jurnal
Bagian yang paling penting dalam pembelajaran adalah pengkomunikasian ide tentang matematika dalam bentuk tulisan. Jurnal merupakan salah satu bentuk tulisan yang disusun siswa tentang kegiatan yang dilakukannya.
(https://edusogem.blogspot.com/2010/11/penilaian-pembelajaran-matematika-di-sd.html)
Salah satu penilaian yang ditetapkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan kurikulum 2013 adalah penilaian autentik (otentik). Istilah penilaian autentik ini bagi sebagian orang akan terdengar asing dan menjadi permasalahan tersendiri dalam penerapannya, walaupun tidak menutup kemungkinan sebenarnya bentuk penilaian ini telah kita lakukan sehari-hari tanpa kita sadari.
Definisi, Ciri-ciri dan Karakteristik
Kata autentik oleh KBBI didefinisikan sebagai dapat dipercaya, asli; tulen, dan sah. Oleh pemerintah, melalui kemendikbud, penilaian autentik didefinisikan di dalam permendikbud no. 66 tahun 2013 sebagai penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran. Dipertajam lagi dalam permendikbud no.81A tahun 2013 sebagai proses pengumpulan informasi oleh guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan, atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan (kompetensi) telah benar-benar dikuasai dan dicapai. Dikatakan pula oleh Pusat Kurikulum, penilaian autentik adalah suatu proses pengumpulan, pelaporan dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian, pelaksanaan berkelanjutan, bukti-bukti autentik, akurat, dan konsisten sebagai akuntabilitas publik (Majid, 2014: 56). Sumber lainnya mengatakan bahwa penilaian autentik adalah kegiatan menilai peserta didik yang menekankan kepada apa yang seharusnya dinilai, baik proses maupun hasil dengan berbagai instrumen penilaian yang disesuaikan dengan tuntutan kompetensi yang ada di SK, atau KI dan KD. (Supardi, 2015:26). Masih di dalam sumber yang sama, disebutkan penilaian autentik memiliki ciri-ciri belajar tuntas, autentik, berkesinambungan, menggunakan teknik yang bervariasi, dan berdasarkan acuan kriteria. Sedangkan karakteristik dari penilaian autentik menurut Kunandar (Supardi, 2015:27), adalah:
  1. Dapat digunakan untuk formatif dan sumatif
  2. Mengukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta
  3. Berkesinambungan dan terintegrasi
  4. Dapat digunakan sebagai feedback
Sedangkan dalam permendikbud no.81A tahun 2013, disebutkan penilaian autentik memiliki prinsip-prinsip:
  1. Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaran, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran. Penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata, bukan masalah dunia sekolah.
  2. Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metoda dan kriteria yang sesuai dengan karakteristik dan esensi pengalaman belajar.
  3. Penilaian harus bersifat holistik yang mencakup semua aspek dari tujuan pembelajaran (sikap, keterampilan, dan pengetahuan).
Selain prinsip dan karakteristik di atas, beberapa ahli juga memadanankan penilaian autentik dengan beberapa istilah lainnya sebagai gambaran dari isi penilaian autentik itu sendiri. Istilah penilaian autentik sering disejajarkan pengertiannya dengan performance assessment, alternative assessment, direct assessment, dan realistic assessment, walaupun tidak semua ahli sependapat akan padanan kata-kata tersebut. (Majid, 2014: 56).
Dari serangkaian definisi, ciri dan karakteristik, dapat dilihat beberapa kesamaan dan titik temu dari sebuah penilaian autentik, dan hal inilah esensi dari penilaian autentik. Hal-hal tersebut adalah:
  1. Menilai ketiga ranah kecerdasan; afektif (sikap), kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (keterampilan). Implikasinya penilaian dilakukan dengan berbagai cara dan instrumen. Melahirkan hasil penilaian yang akuntabel.
  2. Memperhatikan kondisi awal (input), proses dan pencapaian belajar (output) peserta didik.
  3. Penilaian (proses belajar) harus mencerminkan dunia nyata, bukan mengingat fakta.
  4. Beracuan kriteria. Tidak dibandingkan terhadap kelompoknya, melainkan dibandingkan dengan kriteria (indikator) yang telah ditetapkan.
Autentik dan akuntabel. Dapat dipertanggung jawabkan dengan bukti-bukti yang nyata.
Penilaian Autentik web 2
Akuntabel dan Berkesinambungan
Dari kelima hal yang telah saya sebutkan di atas, terdapat dua hal yang cukup menarik dari sebuah penilaian autentik dalam pembelajaran matematika tingkat sekolah dasar, yaitu akuntabel dan berkesinambungan. Kenapa hanya kedua hal tersebut? Mari lupakan sejenak mengenai permasalahan holistik, kontekstual dan beracuan kriteria karena hal ini lebih kepada isi dari sebuah kurikulum, tidak kepada teknis pelaksanaan penilaian itu sendiri. Dengan mengerucutnya permasalahan yang kita bicarakan, maka jelas rasanya bila dua hal pertama merupakan hal yang bersinggungan langsung dengan teknis penilaian.
Masalah akuntabel menyangkut penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan secara teknik, bukti-bukti, maupun hasilnya. Untuk itulah, penilaian yang dilakukan terhadap ketiga ranah kecerdasan wajib hukumnya harus mempunyai prosedur yang jelas. Dengan menggunakan rubrik, penilaian ranah sikap dapat dilakukan bersama-sama dengan mata pelajaran lainnya dalam konteks tematik, sedangkan tidak menutup kemungkinan pula untuk berdiri sendiri sebagai penilaian sikap dalam pembelajaran matematika. Untuk itulah, rubrik dapat dirancang bersama-sama dengan guru mata pelajaran lainnya ataupun dalam internal guru mata pelajaran matematika. Rubrik ini dirancang tidak hanya berguna dalam hal teknik pengambilan nilai, tapi juga sebagai bukti sahih bahwa penilaian telah dilakukan.
Ranah pengetahuan seharusnya tidak menjadi permasalahan yang berarti dalam pembelajaran matematika, karena memang hal inilah yang telah kita lakukan sehari-hari. Yang perlu mendapat perhatikan lebih, dimana banyak diantara kita yang mengabaikannya, adalah teknik skoring yang jelas dan bukti-bukti dari hasil penilaian itu yang nyata. Sedangkan penilaian dalam ranah keterampilan pembelajaran matematika dilakukan dengan menggunakan rubrik dengan tetap memperhatikan teknik dan bukti-bukti penilaian. Sama halnya dengan kedua ranah lainnya.
Ketiga penilaian di atas dilakukan secara berkesinambungan. Dilakukan semenjak awal pembelajaran (input) hingga berakhirnya suatu kompetensi yang menjadi tujuan pembelajaran (output). Singkatnya, semenjak pembelajaran suatu kompetensi dimulai, maka pada saat itulah setiap tugas siswa dikenakan penilaian, baik secara sikap, pengetahuan dan keterampilan. Akan terdengar mustahil memang melakukan semua hal tersebut, kita bisa mengatakannya sebagai hal ideal, penyesuaian dapat dilakukan di sini. Penyesuaian dilakukan dengan mengingat bahwa pembelajaran matematika lebih condong ke arah pengetahuan yang bermuara pada berubahnya sikap dan keterampilan. Untuk itulah kita dapat meletakkan penilaian pengetahuan sebagai prioritas dalam hal kesinambungan proses pembelajaran dan penilaian.
Untuk dapat mempertahankan kesinambungan dalam penilaian ranah pengetahuan, maka penilaian wajib dilakukan di awal pembelajaran (bahasan-bahasan awal), di tengah-tengah pembelajaran dan di akhir pembelajaran. Dengan dilakukannya penilaian secara terus menerus dan berkesinambungan maka tidak hanya berguna bagi guru untuk melihat perkembangan peserta didik, namun juga bermanfaat dalam melihat bagian mana yang menjadi kesulitan tersendiri bagi peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran. Selama proses penilaian ranah pengetahuan ini berlangsung guru dapat melakukan penilaian sikap dengan menggunakan metode observasi dan rubrik yang telah disiapkan sebelumnya. Begitu pula dengan ranah keterampilan. Banyak alternatif penilaian keterampilan yang dapat dilakukan dalam pembelajaran matematika, seperti penilaian produk, project, ataupun portfolio. Namun tetap harus diingat aspek akuntabel yang harus tetap dijaga.


Karakteristik Penilaian
Penilaian dalam Kurikulum 2013 memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.        Belajar Tuntas
Asumsi yang digunakan dalam belajar tuntas adalah peserta didik dapat mencapai kompetensi yang ditentukan, asalkan peserta didik mendapat bantuan yang tepat dan diberi waktu sesuai dengan yang dibutuhkan. Peserta didik yang belajar lambat perlu diberi waktu lebih lama untuk materi yang sama, dibandingkan peserta diidk pada umumnya.
Untuk kompetensi pada pengetahuan dan keterampilan (KI-3 dan KI-4), peserta didiktidak diperkenankan mengerjakan pekerjaan atau kompetensi berikutnya, sebelum mampu menyelesaikan pekerjaan dengan prosedur yang benar dan hasil yang baik.

2.        Otentik
Memandang penilaian dan pembelajaran adalah dua hal yang saling berkaitan. Penilaian otentik harus mencerminkan masalah dunia nyata, bukan dunia sekolah. Menggunakan berbagai cara dan criteria holistic (kompetensi utuh merefleksikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap).
Penilaian otentik tidak hanya mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik, tetapi lebih menekankan mengukur apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik.
Berikut contoh-contoh tugas otentik:
a.       Pemecahan masalah matematika
b.      Melaksanakan percobaan
c.       Bercerita
d.      Menulis laporan
e.       Berpidato
f.       Membaca puisi
g.      Membuat peta perjalanan
3.        Berkesinambungan
Penilaian berkesinambungan dimaksu sebagai penilaian yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan selama pembelajaran berlangsung. Tujuannya adalah untuk mendapat gambaran yang utuh mengenai perkembangan hasil belajar peserta didik, memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasilterus menerus dalam bentuk penilaian proses, dan berbagai jenis ulangan secara berkelanutan (ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester).
4.      Menggunakan teknik penilaian yang bervariasi
Teknik penilaian yang dipilih dapat berupa tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, projek, pengamatan, dan penilaian diri.
5.      Berdasarkan acuan kriteria
Kemampuan peserta didik tidak dibandingkan terhadap kelompoknya, tetapi dibandingkan terhadap criteria yang ditetapkan, misalnya ketuntasan minimal, yang ditetapkan oleh satuan pendidikan masing-masing.
Penilaian didasarkan pada ukuran dan pencapaian kompetensi yang ditetapkan.
Kemampuan peserta didik tidak dibandingkan terhadap kelompoknya, tetapi dibandingkan terhadap kriteria yang telah ditetapkan, misalnya ketuntasan belajar minimal (KKM), yang telah ditetapkan oleh satuan pendiidkan masing-masing dengan mempertimbangkan karakteristik kompetensi dasar yang akan dicapai, daya dukung (sarana dan guru), dan karakteristik peserta didik. KKM diperlukan agar guru mengetahui kompetensi yang sudah dan belum dikuasai secara tuntas. Guru mengetahui sedini mungkin kesulitan peserta didik, sehingga pencapaian kompetensi yang kurang optimal dapat segera diperbaiki. Bila kesulitan dapat terdeteksi sedini mungkin, peserta didik tidak sempat merasa frustasi, kehilangan motivasi, dan sebaliknya peserta didik merasa mendapat perhatian yang optimal dan bantuan yang berharga dalam proses pembelajarannya. Namun ketuntasan belajar minimal tidak perlu dicantumkan dalam buku rapor, hanya menjadi catatan guru.